Senin, 25 Desember 2017

Filosofi Jawa: Nyantri (Berguru)


Cobalah baca semua biografi orang-orang ternama, di sana kita akan membaca, bahwa orang yang terbaik, orang tersukses, hampir semuanya pernah menyebut, paling tidak satu nama sebagai mentornya. Mereka adalah orang-orang yang menjadi tokoh panutan, tempat pembelajaran, hingga menjadi guru spiritual yang membimbing langsung atau tidak sehingga menginspirasi untuk berbuat yang terbaik dalam hidupnya. Inilah bagian dari kehidupan, di mana satu dengan yang lain, saling terkait, saling memengaruhi, saling mengisi.

Sebagai orang yang gemar dan mempelajari kungfu, saya termasuk juga orang yang menikmati kisah-kisah dunia persilatan atau karya fiksi kungfu. Salah satunya, yang ditulis oleh almarhum Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Dalam sebuah kisah atau di banyak kisah lain ada satu hal yang saya amati. Yakni, selalu muncul orang-orang hebat yang sebelumnya berguru pada orang hebat pula. 

Mereka hebat bukan hanya dalam ilmu silat atau kungfu, tapi juga filosofi kehidupan yang dianutnya. Di lain sisi, kadang mereka diperlawankan dengan tokoh yang sama hebatnya, berasal dari perguruan yang hebat pula, namun digunakan dengan cara yang salah.

Mereka sebelum jadi orang hebat dalam istilah orang Jawa sering disebut sedang nyantrik atau yang dalam arti harfiah berguru pada orang yang hebat untuk mendapatkan ilmu yang hebat pula. Dengan nyantrik, seseorang yang benar-benar tekun, mau melaksanakan perintah, mau bekerja keras, akan mendapatkan “turunan” ilmu yang luar biasa. Dan, biasanya, tak semua murid bisa mendapatkan semua “turunan” ilmu tersebut. Sebab, hanya yang terbaiklah yang akan mendapatkannya.

Di sini, syarat utama harus selalu dipegang teguh. Melaksanakan semua perintah Sang Guru, mendalami semua ilmu dengan ketekunan, dan bekerja ekstra luar biasa. Tanpa itu semua, jangan harap Sang Guru mau menitiskan ilmu pamungkas—yang biasanya merupakan ajian paling hebat—pada sang murid. Atau, kalau yang berwatak buruk, biasanya digambarkan ia akan mencuri ilmu tersebut. Tapi, itu pun tetap harus dipelajari dengan ketekunan yang amat luar biasa hebat juga.

Jika ditarik dalam kehidupan kekinian, “berguru” bisa kita lakukan di mana saja. Kita berguru pada kehidupan, baik yang dialami sendiri atau yang kita ambil saripatinya dari kisah sukses orang lain. Begitu juga sebenarnya ketika kita sedang berinteraksi dengan orang lain. Kita sejatinya juga sedang nyantrik alias berguru. Mulai dari kita melihat bagaimana cara orang lain bisa sukses, mempelajari bagaimana sebuah sistem bekerja sehingga mampu membuat sebuah usaha jadi luar biasa, atau sekadar berguru tentang hikmah kehidupan dari orang-orang di sekitar.

Dengan merendahkan hati, melapangkan jiwa, memperluas cakrawala pandang, kita akan banyak menemukan hal yang bermanfaat pada kehidupan yang kita jalani ini. Bergurulah pada setiap orang, setiap kejadian, setiap peristiwa. Syaratnya, kita harus mau membuka pikiran, membuka diri. Dan, sebagaimana layaknya nyantrik di sebuah perguruan, kita pun dituntut bukan hanya sekadar melihat, mendengar, dan mengamati. Tapi, kita harus mengambil tindakan dari pelajaran yang kita serap. Dengan makin tekun, bekerja lebih ekstra, hingga menjalankan apa yang “diperintahkan”.

Saya sendiri hingga kini masih terus berguru. Terutama, dari berbagai buku dan kajian-kajian kehidupan. Hampir bisa dikatakan, tiada hari tanpa buku. Dan, tiada pembelajaran kehidupan yang saya lewatkan begitu saja. Misalnya, melalui "catatan harian" yang sering saya tulis di www.jowo.ga  di  sana saya acap kali membuat kajian tentang peristiwa yang terjadi.

Dalam catatan tersebut, buah pemikiran saya padupadankan dengan nilai-nilai kehidupan. Dengan begitu, apa pun yang kita alami, apa pun yang kita terima, apa pun adanya kita saat ini, kita akan selalu mampu memetik pembelajaran hidup yang luar biasa. Jika itu terus kita lakukan, niscaya semua peristiwa pahit manis, sukses gagal, bahagia nestapa akan jadi ilmu hebat yang akan membuat kita menjadi manusia seutuhnya.

Selamat berguru!
Load disqus comments

0 comments