Cobalah baca semua
biografi orang-orang ternama, di sana kita akan membaca, bahwa orang
yang terbaik, orang tersukses, hampir semuanya pernah menyebut, paling
tidak satu nama sebagai mentornya. Mereka adalah orang-orang yang
menjadi tokoh panutan, tempat pembelajaran, hingga menjadi guru
spiritual yang membimbing langsung atau tidak sehingga menginspirasi
untuk berbuat yang terbaik dalam hidupnya. Inilah bagian dari kehidupan,
di mana satu dengan yang lain, saling terkait, saling memengaruhi,
saling mengisi.
Sebagai orang yang gemar dan mempelajari kungfu, saya termasuk juga
orang yang menikmati kisah-kisah dunia persilatan atau karya fiksi
kungfu. Salah satunya, yang ditulis oleh almarhum Asmaraman Sukowati Kho
Ping Hoo. Dalam sebuah kisah atau di banyak kisah lain ada satu hal
yang saya amati. Yakni, selalu muncul orang-orang hebat yang sebelumnya
berguru pada orang hebat pula.
Mereka hebat bukan hanya dalam ilmu silat
atau kungfu, tapi juga filosofi kehidupan yang dianutnya. Di lain sisi,
kadang mereka diperlawankan dengan tokoh yang sama hebatnya, berasal
dari perguruan yang hebat pula, namun digunakan dengan cara yang salah.
Mereka sebelum jadi orang hebat dalam istilah orang Jawa sering disebut sedang nyantrik atau yang dalam arti harfiah berguru pada orang yang hebat untuk mendapatkan ilmu yang hebat pula. Dengan nyantrik,
seseorang yang benar-benar tekun, mau melaksanakan perintah, mau
bekerja keras, akan mendapatkan “turunan” ilmu yang luar biasa. Dan,
biasanya, tak semua murid bisa mendapatkan semua “turunan” ilmu
tersebut. Sebab, hanya yang terbaiklah yang akan mendapatkannya.
Di sini, syarat utama harus selalu dipegang teguh. Melaksanakan semua perintah Sang Guru, mendalami semua ilmu dengan ketekunan,
dan bekerja ekstra luar biasa. Tanpa itu semua, jangan harap Sang Guru
mau menitiskan ilmu pamungkas—yang biasanya merupakan ajian paling
hebat—pada sang murid. Atau, kalau yang berwatak buruk, biasanya
digambarkan ia akan mencuri ilmu tersebut. Tapi, itu pun tetap harus
dipelajari dengan ketekunan yang amat luar biasa hebat juga.
Jika ditarik dalam kehidupan kekinian, “berguru” bisa kita lakukan di
mana saja. Kita berguru pada kehidupan, baik yang dialami sendiri atau
yang kita ambil saripatinya dari kisah sukses orang lain. Begitu juga
sebenarnya ketika kita sedang berinteraksi dengan orang lain. Kita
sejatinya juga sedang nyantrik alias berguru. Mulai dari kita
melihat bagaimana cara orang lain bisa sukses, mempelajari bagaimana
sebuah sistem bekerja sehingga mampu membuat sebuah usaha jadi luar
biasa, atau sekadar berguru tentang hikmah kehidupan dari orang-orang di
sekitar.
Dengan merendahkan hati, melapangkan jiwa, memperluas cakrawala
pandang, kita akan banyak menemukan hal yang bermanfaat pada kehidupan
yang kita jalani ini. Bergurulah pada setiap orang, setiap kejadian, setiap peristiwa. Syaratnya, kita harus mau membuka pikiran, membuka diri. Dan, sebagaimana layaknya nyantrik di
sebuah perguruan, kita pun dituntut bukan hanya sekadar melihat,
mendengar, dan mengamati. Tapi, kita harus mengambil tindakan dari
pelajaran yang kita serap. Dengan makin tekun, bekerja lebih ekstra,
hingga menjalankan apa yang “diperintahkan”.
Saya sendiri hingga kini masih terus berguru. Terutama, dari berbagai
buku dan kajian-kajian kehidupan. Hampir bisa dikatakan, tiada hari
tanpa buku. Dan, tiada pembelajaran kehidupan yang
saya lewatkan begitu saja. Misalnya, melalui "catatan harian" yang
sering saya tulis di www.jowo.ga di sana saya acap kali
membuat kajian tentang peristiwa yang terjadi.
Dalam catatan tersebut, buah pemikiran saya padupadankan dengan
nilai-nilai kehidupan. Dengan begitu, apa pun yang kita alami, apa pun
yang kita terima, apa pun adanya kita saat ini, kita akan selalu mampu memetik pembelajaran hidup yang luar biasa.
Jika itu terus kita lakukan, niscaya semua peristiwa pahit manis,
sukses gagal, bahagia nestapa akan jadi ilmu hebat yang akan membuat
kita menjadi manusia seutuhnya.
Selamat berguru!
0 comments