Sebagai
makhluk sosial, kita punya ”harta” tak ternilai di sekeliling kita.
Sikap saling menolong dengan ikhlas dan menghargai apa yang kita miliki
akan menjadikan jiwa kita ”kaya raya”.
Alkisah, di siang yang cukup terik, tampak seorang gadis kecil berada sebuah kios bunga.
Ia terlihat sibuk memegangi kantungnya. Beberapa uang receh menyembul
dari balik sakunya. Sepertinya, uang itu adalah recehan yang
dikumpulkan, entah berapa lama.
Dan, sembari satu tangan terus memegangi kantung kecilnya, tangan yang lain sibuk memilih bunga-bunga indah nan wangi yang ada di toko itu.
”Bang, berapa harga setangkai bunga yang ini?” tanya si gadis sambil menunjuk bunga berwarna merah yang cantik dan segar.
”Yang itu harganya 30 ribu, Dik. Mau beli berapa tangkai?”
”Oooh. Kalau yang di belakangnya, berapa harganya Bang?"
”Yang itu lebih murah sedikit, 25 ribu.”
Mendengar harga yang disebutkan, tampak wajah
keraguan dari si gadis kecil. Ia pun berkali-kali melihat kantungnya.
Sepertinya, ia sedang menghitung berapa uang yang dimilikinya. Akhirnya,
meski dengan wajah kurang puas, gadis kecil itu pun akhirnya bertanya..
”Bang. Hanya ini uang yang saya punya. Bunga yang
mana yang bisa saya beli dengan semua uang ini?” Tangan si gadis kecil
mengeluarkan satu per satu recehan yang dari tadi menyembul di
kantungnya. Uang yang tak seberapa itu lantas diberikannya kepada sang
penjual bunga. Wajahnya tampak penuh harap. ”Semoga aku bisa tetap bisa
tetap mendapatkan bunga indah itu, karena hanya ini yang aku punyai,”
bisiknya dalam hati.
Si abang penjual bunga pun
menerima uang itu dengan wajah enggan. Sejenak, ia kemudian segera pergi
mengambil bunga yang diletakkan di pojokan. Meski masih tampak bagus,
bunga itu sudah mendekati layu dan tak segar lagi. Saat bersamaan, tanpa disadari keduanya, ada seorang pemuda yang juga sedang memperhatikan bunga-bunga di
sana dan tanpa sengaja ikut mendengar percakapan tersebut. Melihat si
kecil dengan bunga yang nyaris layu itu, ia pun tergerak hatinya untuk
membelikan bunga yang lebih segar.
”Adik kecil. Kakak boleh minta tolong? Pilihkan bunga untuk kakak ya?”
”Boleh, Kak. Bunga di sini
cantik-cantik. Kakak ingin membeli bunga untuk siapa?” tanya si gadis
dengan riang karena bisa memilih bunga-bunga cantik walaupun bukan untuk
dirinya sendiri.
”Kekasih kakak berulang tahun hari ini. Bunga apa yang cocok?” ujar si pemuda dengan semangat tertular kegembiraan si gadis. Dengan cekatan, seikat bunga telah
ada di tangan gadis kecil. ”Ini, Kak. Pacar kakak pasti senang menerima
hadiah bunga yang indah dari orang yang dicintai.”
“Pak, ini semua berapa ya? Dan tolong sekalian,
ambilkan bunga segar merah itu untuk adik kecil yang baik dan sudah
menolong saya memilih bunga ini. Sedangkan bunga yang kurang segar untuk
adik tadi, simpan saja. Ganti dengan bunga yang lebih segar itu,” pinta
pemuda pada penjual bunga yang sedang memegang setangkai bunga kurang segar yang tadinya hendak dibeli si kecil dengan uang recehnya.
Tanpa disangka, si gadis kecil menolak pemberian
pemuda itu. ”Kak, saya membantu kakak memilihkan bunga karena saya
memang suka dan rela, bukan hendak meminta dibelikan bunga yang lebih
segar. Lagipula mamaku selalu mengajarkan, kita membantu orang lain
harus dengan ikhlas, bukan untuk mendapat pamrih,” sebutnya seraya tetap
meminta bunga yang tadi dibelinya dari si penjual bunga. ”Saya tetap
beli dengan uang receh tadi bunga yang sudah dibungkus itu.”
Si pemuda pun terheran-heran dan sekaligus kagum
dengan sikap si gadis kecil. ”Oke, kalau begitu, bunga itu silakan kamu
bawa. Tapi, kakak tetap akan membelikan beberapa tangkai ini untuk mama
yang hebat, yang sudah mengajarkanmu hal yang sangat mulia,” ujarnya
sembari membayar beberapa tangkai bunga itu. ”Berikan bunga ini pada
mamamu ya...”
”Terima kasih, Kak. Mamaku memang sangat suka bunga,” jawab si gadis sambil bergegas pergi dari situ.
Setelah meninggalkan kios bunga,
si pemuda penasaran, siapa orang hebat yang sudah mengajari nilai budi
pekerti pada si gadis kecil. Maka, ia pun mengikuti si gadis kecil. Tak
disangka, gadis kecil itu berbelok arah ke sebuah area pemakaman. Dari kejauhan, si gadis bersimpuh di depan pusara sambil meletakkan bunga di atasnya.
Setelah menunggu sesaat, si pemuda lantas menghampiri, ”Dik, makam siapa ini?”
”Ini
makam mamaku, Kak. Beliaulah yang sudah mengajarkan banyak hal padaku.
Dan, ini adalah hari ulangtahunnya. Karena itu, aku menghadiahkan bunga
ini padanya.”
Pemuda itu pun terkejut. Kejadian hari itu jadi
pelajaran yang berharga untuk hidupnya. ”Dik. Terima kasih atas dua
pelajaran berharga hari ini. Pertama, kakak sangat kagum pada nilai
mulia yang ditanamkan pada dirimu, bahwa untuk membantu orang lain kita
harus selalu tulus. Kedua, kakak masih punya ibu, tetapi sering
melupakannya. Setiap kali ibu menelepon karena rindu, kakak selalu punya
alasan tidak bertemu. Hari ini kakak sadar, jika
telah di pusara, rindu sebesar apapun tidak kan mungkin bisa bertemu.
Izinkan kakak ikut mendoakan mama kamu. Dan, kakak pun berjanji, akan
lebih banyak memperhatikan ibu kakak."
Pembaca yang Luar Biasa!
Kisah tadi mengajarkan kita bahwa sebagai manusia,
kita tak boleh lupa pada jati diri kita. Pertama, sebagai makhluk
sosial, kita seharusnya selalu sadar hidup tak pernah sendirian. Karena
itu, sikap saling menolong dengan tulus dan ikhlas harus selalu
ditanamkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, sebagai manusia, sering kita sibuk dari pagi
hingga malam dan kembali pagi lagi, mengejar target, berusaha
mendapatkan apa pun, mencari segala yang belum dipunyai. Namun kita
sering lupa menghargai apa yang telah kita miliki, termasuk keluarga,
saudara, terutama kedua orangtua kita. Padahal, keluarga dan handai
taulan adalah permata-permata berharga yang akan membuat kita menjadi
manusia seutuhnya.
Mari mulai berbenah diri. Tanamkan nilai sosial dalam
diri, serta agar kita mau lebih menghargai dan mencintai apa apa yang
telah kita miliki, agar tak ada sesal di kemudian hari.
Salam hangat luar biasa!


0 comments