Ulang tahun
biasanya membawa arti tersendiri bagi setiap orang yang sedang
memeringatinya. Bagi yang beranjak remaja lebih berarti kebahagiaan,
menandai bertambahnya usia untuk menjadi lebih dewasa. Ini sering
disertai dengan pesta dan kemeriahan menerima peluk cium serta hadiah
dari keluarga dan kerabat yang mencintainya. Sungguh momen yang
menggembirakan dan mungkin tak terlupakan. Kata anak saya sewaktu kecil
saat ulang tahunnya dirayakan, "Enak ya Ma ulang tahun. Kalau bisa
sering-sering ulang tahun Ma, biar dapat banyak kado hahaha..."
Ulang tahun sejatinya memeringati sebuah perjuangan seorang
perempuan, ketika bertaruh nyawa mewujudkan keberadaan setiap kita di
bumi ini, yang dijuluk penuh cinta sebagai Ibu, Ibunda, atau Mama.
Sedangkan ulang tahun bagi saya, bukan sekadar mengingatkan
perjuangan dan cinta mama saja, tetapi sejak tepat usia saya di angka
34, sekaligus memeringati pula hari wafatnya mama tercinta. Benar, mama
meninggal tepat di tanggal ulang tahun saya.
Beberapa hari setelah meninggalnya mama (dan ulang tahun saya), seorang keponakan yang punya kemampuan sixth sense
khusus menyampaikan ke saya, "Bu, yang kuat ya. Emak pergi di tanggal
ulang tahunmu artinya Emak ingin saat kamu mengingat Emak sekaligus juga
ingat akan keluarga semua dan menitipkan keluarga besar ini ke kamu."
Maka, setelah itu, setiap ulang tahun saya memilih pulang ke kampung
halaman, mendoakan orangtua, daripada merayakannya bersama keluarga di
Jakarta.
Mama adalah sosok penuh kharisma, pejuang kehidupan yang luar biasa,
figur papa sekaligus mama (karena papa meninggal saat saya berusia 19
bulan, sehingga mamalah yang berperan penuh di kehidupan saya), dan
masih banyak lagi predikat yang membanggakan di seputar sebutan Mama.
Tetapi, predikat selamanya tidak akan melebihi kebesaran subjeknya.
Sungguh saya bersyukur pernah memiliki seorang mama seperti itu.
Dengan kelebihan dan kekurangan beliau, kami anak-anaknya mencintai dan
menghargai beliau dengan cara kami masing-masing. Tanpa Mama yang hebat,
mungkin tidak akan ada anak-anak yang hebat pula. Dan pesan Mama yang
tersirat saat beliau pergi, seakan mampu membuat saya tak kuasa
berpaling setiap ada masalah di keluarga besar kami, untuk sekadar
bersimpati dan mengulurkan bantuan berupa apa pun yang dibutuhkan dan
mampu saya lakukan.
Seperti kita ketahui, tidak ada sekolah yang mengajari bagaimana menjadi orangtua.
Yang ada, setelah menikah dan kemudian punya anak, tiba-tiba status
kita berubah menjadi seorang ayah atau ibu. Dan sejak saat itu, proses
belajar sebagai orangtua pun terjadi secara alami. Ketika dulu kita
sebagai anak, ada hal-hal yang kita pelajari dari cara orangtua kita
dalam memelihara dan mendidik anak. Setelah kita menjadi orangtua,
sebagian pelajaran itu bisa kita adopsi, sebagian kita tinggalkan.
Ketidakcocokan pola didik bukan untuk dipersalahkan atau menjadi bahan
perbandingan. Setidaknya, guru pertama dalam mendidik dan memelihara
anak adalah orangtua kita sendiri. Dan jika suatu saat kita menjadi
orangtua, otomatis kita pun menjadi guru bagi putra putri kita sendiri.
Di keluarga kecil kami, ada sebuah tradisi yang kami ajarkan ke
anak-anak. Setidaknya dua kali dalam setiap tahun, mereka harus
melakukan namaskara (semacam tradisi "penghormatan") kepada orangtuanya,
yakni, di hari ulang tahun papa atau mamanya, dan di hari ulang tahun
mereka. Menurut saya, sangatlah penting melakukan kegiatan semacam itu,
setidaknya mengingatkan pada mereka, bahwa anak adalah bagian dari mama
dan papanya, begitu pun sebaliknya. Selayaknya di antara keluarga harus
saling perhatian dan menyayangi.
Semoga dengan pengetahuan ini, apa pun status kita, sebagai anak
maupun orangtua, kita mampu menjalaninya dengan sebaik-baiknya, lebih
bijak dan bahagia.


0 comments