Sadarkah kita hal terbesar apa yang kita miliki di dunia ini?
Hidup! Ya, kesempatan untuk hidup adalah berkah yang tak bisa
tergantikan oleh apa pun. Bayangkan. Kita menjadi manusia dengan
mengalahkan jutaan bibit lain yang punya kesempatan sama untuk menjadi
diri kita saat ini. Karena itu, dengan terlahir saja, sudah merupakan
berkah yang luar biasa. Dengan menjadi manusia, kita sebenarnya telah
mendapatkan “hadiah” luar biasa yang tak bisa dinilai dengan apa pun.
Sayangnya, kita sendiri yang malah sering menciderai berkah itu.
Mendapat halangan sedikit saja, kita langsung menyerah. Mendapat ujian
tak seberapa, segera surut langkah. Memperoleh musibah, kita sibuk
mengutuk dan tak bisa berserah. Padahal, kita diciptakan dengan berjuta
potensi. Dan, dengan menggali dan memaksimalkan potensi itulah, kita
akan mendapatkan banyak kebaikan.
Mother Teresa, mendiang tokoh yang hingga kini demikian terkenal
dengan rasa welas asihnya, pernah berucap, betapa berharganya hidup.
“Life is life, fight for it,” serunya mengungkapkan betapa hidup harus
diperjuangkan.
Untuk itu, kita juga harus tahu, untuk apa kita hidup. Dalam bahasa Jawa, ada istilah, urip mung mampir ngombe, hidup hanya “sekadar” mampir minum. Ini mengandung arti bahwa hidup sebenarnya sangat singkat. Karena itu, apa yang kita lakukan, apa yang kita perjuangkan, apa yang kita maksimalkan,
itulah yang akan kita “tinggalkan”. Jika kita melakukan kebaikan, kita
akan dikenang sebagai insan yang membawa keberkahan. Jika kita hanya
melakukan kesia-siaan, maka kita pun hanya akan menjelma seperti buih di
lautan, datang dan pergi seolah tanpa kesan.
Itulah mengapa saya selalu menekankan agar kita selalu memiliki target besar dan menantang.
Sebab, dengan itulah, kita akan berjuang dan meninggalkan warisan yang
selalu bisa dikenang.
Coba kita telusuri jejak kehidupan orang-orang
yang pernah berjaya pada masanya. Mulai dari legenda pencipta lampu
pijar, Thomas Alva Edison, kisah John F. Kennedy yang ingin mendaratkan
orang ke bulan, hingga tokoh-tokoh olahraga dunia seperti Michael Jordan
di basket dan Muhammad Ali di tinju. Semua pasti punya target dan
impian besar nan menantang yang akhirnya berhasil mereka taklukkan.
Jangan lupa pula menyebut Mother Teresa yang hingga akhir hayatnya
mendedikasikan hidup demi kehidupan orang lain. Atau, lihat juga kiprah
Muhammad Yunus yang mengentaskan kemiskinan dengan mendirikan Grameen
Bank sehingga berhasil mengentaskan kemiskinan di Bangladesh.
Dengan
pencapaian itulah, sepanjang masa mereka akan dikenang orang. Mereka inilah contoh tokoh yang hidupnya mampu menjadi "terang" bagi
sekelilingnya. Kita pun sebenarnya bisa menjadi seperti mereka. Tentu,
dalam kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Sebab, sejatinya,
hidup itu sendiri mengandung makna terang atau menerangi. Tinggal
pilihan kita sendiri. Apakah ingin menjadikan hidup suram penuh suasana
muram, atau akan jadi hidup yang mampu menerangi diri dan sekeliling.
Sebuah ungkapan bijak mengatakan, “Daripada mengutuk kegelapan, lebih
baik menyalakan lilin.” Meski kecil apinya, lilin mampu menerangi
sekeliling. Lilin mampu “menghidupkan” suasana sekitar bahkan dengan
nyala yang sangat redup sekali pun. Begitu juga kita. Maka, meski
mengaku tak punya bakat apa-apa, dengan terus mau berjuang dan bekerja,
memaksimalkan segala dan upaya, pasti ada hasil yang penuh makna.
Itulah mengapa sejatinya saat menghadapi kerasnya kehidupan, kita
sedang “dihidupkan”. Gemblengan yang kita terima itulah yang akan terus
menyalakan semangat untuk maju dan menjadikan diri lebih baik. Ibarat
kupu-kupu dalam kepompong. Ia hidup sebagai ulat kemudian menjelma
menjadi kupu-kupu nan elok bukan dengan kemudahan. Saat di dalam “rumah
penggemblengan” berwujud kepompong,kupu-kupu menjalani hidup penuh
siksaan. Namun, di sanalah ia sedang dibentuk agar bisa hidup dan mampu
“menghidupi” sekitar dengan pesona keindahannya.
Mari, kita renungi hidup kita. Urip mung mampir ngombe seperti apa yang akan kita jalani? Setiap fase mampir ngombe masing-masing orang pasti berbeda. Ada ukurannya sampai 80 tahun, 60 tahun, atau bahkan di usia yang belia, tak lagi bisa mampir ngombe.
Namun, yang terpenting, “minum” seperti apa yang kita jalani. Seperti
tokoh legenda kungfu, Bruce Lee yang meninggal di usia 32 tahun. Sangat
muda untuk ukuran kita. Tapi, masa mampir ngombe-nya yang
singkat itu meninggalkan banyak “warisan” yang tak lekang oleh zaman.
Bahkan, lebih dari 3 dekade sejak ia meninggal, sikap positifnya, kerja
keras, semangat mewujudkan impian, dan karya-karyanya, terus “hidup”
melampaui batas waktu dan usia.
Seperti Bruce Lee dan tokoh inspiratif lainnya, mari kita “minum” air
kehidupan dengan penuh syukur dan semangat pembelajaran, serta
keinginan berbagi dengan sesama. Kita maksimalkanwaktu mampir ngombe dengan hal positif yang membawa keberkahan sehingga hidup dan kematian kita kelak, akan penuh arti.
0 comments